Selasa, 21 Juli 2009

Taisir Musthalah Hadits (2): Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan

Hadits Ahad

a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.

a. Ahad (الاحاد).

Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.

b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.

1. Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده“

Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”
2. ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين

“Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
3. Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى…“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.

c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.

1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
* Adil (عدل),
* Hafalannya kuat (تام الضبط),
* Sanadnya bersambung (بسند متصل),
* Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).

Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:
* Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
* Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
* Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.

Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.
2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره).
Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,

Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.

Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.

Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.
3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته).
Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.

Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”<

Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.
4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره).
Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)

Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.

Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
5. Hadits dho’if (الضعيف)
Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”

Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.

d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:

1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

* Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.

Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.

* Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.

Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.

Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .



*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.

1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.

* Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.

* Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.

Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.

3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.

* Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.

Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.

Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.

***
Artikel muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar