Selasa, 21 Juli 2009

Kisah Haji Abdullah bin al-Mubarak

Abdullah bin al-Mubarak hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.

“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.

“600.000,” jawab malaikat lainnya.

“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”

“Tidak satupun”

Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasing yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”

“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama. “Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni.”

Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal. Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?”

Kepadanya aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku. Dia mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menagis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah perjalanan hajiku.”

“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.”

******
Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang petapa termasyhur. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M.

Kisah di atas diambil dari buku “Warisan Para Awliya” karya Farid al-Din Attar.

Edisi Inggris “Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya (Memorial of the Saints) By Farid al-Din Attar”


-----0000-------

ikhlas...
Mewujudkan Ikhlas bukanlah pekerjaan yang mudah sebagimana kita membalikkan terlapak tangan atau sekedar berkata-kata. Kita bisa lihat betapa manusia sulit ikhlas pada saat cinta pergi ditelan bumi..., sulit sekali ikhlas pada saat menatap punggung cinta pergi meninggalkan kita..., sulit sekali ikhlas pada saat sahabat-sahabatn pergi, sulit sekali ikhlas pada saat apa yang selama ini dimiliki harus menjadi milik orang lain, sulit sekali ikhlas saat kita sudah tak memiliki apa-apa lagi..sulit sekali ikhlas saat jiwa harus berada di ujung bukit asa yang nyaris pupus....
Mungkin kita lupa, bukankah pada dasarnya yang ada hanya Allah swt, maka semuanya adalah milik Dia...Karena semua milik Allah swt. maka semua harus dikembalikan kepada-Nya. ikhlas adlah memuarakan semuanya kepada Allah. Seharusnya kita terima semua kehilangan demi kehilangan, kedatangan demi kedatangan, kemudian serahkankembali semuanya kepada Allah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar