Peran Tasawuf dalam penyebaran Islam di tanah air menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan “tata krama” hubungannya dengan Tuhan, tapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya Islam, yakni tradisi Hindu dan Budha. Islam pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam sufi. Dalam perkembangannya, tasawuf terbagi dalam dua golongan, yaitu “tasawuf sunni” dan “tasawuf falsafi”, dimana masing-masing mempunyai tokoh yang menonjol. Syekh Nûr ad-Dîn ar-Ranîrî, Syaikh ‘Abd ash-Shamad Al-Palembângî, dan Syekh Muhammad Hasyim ‘Asy’âri mewakili kelompok tasawuf sunni. Adapun di antara tokoh kelompok tasawuf falsafi, yang menonjol adalah Hamzah al-Fansuri.
Tentang proses pertama masuknya Islam, ada beberapa teori tentang para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia (India, Persia, dan Arab) serta pengaruhnya terhadap dunia tasawuf di tanah air. Berdasarkan fakta sejarah yang akurat, Dr. Alwi memaparkan bahwa para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia berasal dari Arab, dari keturunan Imâm Ahmad ibn ‘Isâ al-Muhâjir al-‘Alawî (cucu Imâm Ja’far ash-Shâdiq).
Kesimpulan ini membantah pandangan yang sudah jamak diketahui bahwa penyebar awal Islam di tanah air adalah pedagang gujarat. India hanya sebagai tempat pemberangkatan orang-orang Arab yang kemudian melanjutkan ke kota Timur Jauh. Terbukti, dari nama kota itu “malibar” sebagai alihan dari kata Arab, ma’bar.
Sedangkan di Jawa, cikal bakal dan aspek terjang aliran kepercayaan kebatinan Jawa (kejawen), dengan tokoh utamanya Ronggowarsito – yang lebih dikenal sebagai “Bapak Kebatinan Indonesia”. Begitu juga ketegangan-ketegangan antara budaya lokal dan budaya yang dibawa saat proses Islamisasi pertama terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Tasawuf Sunni banyak sekali mengambil ajaran-ajaran al-Ghazâli yang memang menjadi rujukan yang baku dalam pengajian-pengajian di pesantren. Ajaran al-Gazhali ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulûm ad-Dîn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama). Kemudian, dilengkapi dengan dua karya lainnya, yakni Minhâj al-‘آbidîn (Metode Para Ahli Ibadah) dan Bidâyat al-Hidâyah (Permulaan Petunjuk).
Dalam proses selanjutnya, menurut Dr. Alwi Shihab, pada awal abad 20, pesantren di Jawa telah menggunakan kurikulum salafi karena bersandar pada hal-hal tekstual, yakni al-Quran dan hadits. Kenyataan ini erat kaitannya dengan Imâm ‘Abd Ar-Rahmân As-Suyûthi dalam bukunya Itmam ad-Dirâyah, yang menentukan kurikulum seperti itu. Dan, itu sedikit banyak dipengaruhi oleh Ihya ‘Ulûm ad-Dîn,karya Imam al-Ghazali.
Berkaitan dengan mata rantai sejarah ketasawufan, diuraikan tentang sebuah proses kesejarahan yang amat panjang, ketika Ar-Raniri mengritik Hamzah al-Fansuri dan berdebat dengannya. Meski masih terasa kurang, karena mengesankan Jawa dan Sumatera serta tidak mengikutsertakan analisis historis yang terjadi di wilayah timur Indonesia.
Jejak Sosiologis "Jalan Kebenaran" dan Pengaruhnya
Satu hal yang menarik juga, terjadinya perkembangan peranan yang besar dari kaum ‘Alawi (orang-orang Syiah pengikut Sayyid Husain bin ‘Ali bin ‘Abî Thâlib). Dengan kata lain, jelas sekali bahwa dalam setiap tahap perkembangannya, tasawuf dan Islam dimotori oleh para ‘Alawiyyîn atau anak keturunan Sayyid Ahmad Al-Muhâjir.
Hanya saja, ada persoalan identifikasi antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni yang menarik untuk dicermati. Kesimpulan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari adalah penganut Tasawuf Sunni dengan melihat dua belas kitab yang dikarangnya, tidak sepenuhnya benar. Asy’ari sebenarnya mengikuti doktrin tahallul (penempatan diri pada makhluk lain). Padahal doktrin tahallul merupakan bagian dari Tasawuf Falsafi. Karenanya, tidaklah tepat untuk menggolongkan semua ulama dari kalangan NU menganut Tasawuf Sunni.
Kedatangan orang-orang Cina yang kemudian bermukim di pantai utara Jawa dan menganut madzhab Hanafi yang erat kaitannya dengan Tasawuf Falsafi, menjadi sorotan yang sangat penting berkaitan dengan reaksi orang Jawa yang mengembangkan kebatinan untuk memfilter doktrin sinkretik yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar sebagai simpul masuknya pemikiran al-Hallajke Indonesia.
Peranan Tasawuf/Sufisme
Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya.
Sebagai agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya adalah mistik, dikenal tasawuf atau sufisme. Tasawuf ini mempunyai jalan sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf ini dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Melihat perjalanan sejarah tasawuf di Indonesia ini menarik ditindaklanjuti sebagai upaya melacak jejak-jejak pengaruhnya di Indonesia. Lebih jauh, mempelajari sejarah perjalanan tasawuf paling tidak sama nilainya, atau bahkan mungkin lebih, jika dibandingkan dengan mempelajari aspek-aspek Islam lainnya.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut.
Menurut Ahmad Syafii Mufid dalam artikel Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah (jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29) sufisme atau tarekat dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. "Islam Pertama" yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana tercatat dalam babad, adalah Islam dalam corak sufi. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan.
Oleh tasawuf, idiom-idiom budaya lama (animis, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (world view) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati. Wadah-wadah lama yang dipakai, isinya diganti. Peninggalan kejeniusan masa silam masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi doanya bukan untuk para "dewa-dewa" namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, dan sesajinya "biasanya berupa makanan" dimakan bersama-sama setelah memanjat doa.
Radjasa Mu"tasim dan Abdul Munir Mulkhan dalam Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (1998) mengemukakan gerakan tarekat (tasawuf) Sadzaliyah di Kudus mampu mendorong dinamika perekonomian di wilayahnya. Sehingga dalam kelompok tarekat ini terdapat jaringan ekonomi yang kuat dan sulit ditembus oleh jaringan lain hingga mampu mengangkat taraf hidup ekonomi penganutnya. Katanya, hampir semua pengikut tarekat ini memanfaatkan waktu siang untuk melakukan kegiatan ekonomi, sementara waktu malam dimanfaatkan untuk nglakoni (menjalani) kegiatan tarekat.
Sejarah pengaruh tasawuf (gerakan tarekat) dan peranannya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia modern.
Studi ini bermuara pada upaya untuk lebih memperjelas dan mempertajam secara tuntas masalah-masalah yang kurang mendapat perhatian selama ini. Oleh Alwi Shihab tasawuf di sini disebut Islam Sufistik.
Pergumulan antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, menjadi topik yang menarik dikaji dimana ia mengemukakan bahwa tasawuf Sunni banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al Ghazali melalui tokoh Iman Al Qusyairi (wafat. 465 H) yang berperan melapangkan jalan bagi Al Ghazali untuk memenangkan tasawuf Sunni di Dunia Islam.
Dalam konteks ini, tasawuf yang berkembang di Indonesia oleh Dr. Alwi Shihab dipetakan dalam dua tipologi, yaitu falsafi dan Sunni. Dr. Alwi Shihab menjelaskan, falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme phanteistik Ibnu Arabi. Sedangkan Sunni dihubungkan dengan model Al-Ghazali. Ibnu Arabi dikenal ahli mistik Islam yang mengajarkan "kesatuan hamba dan Tuhan".
Akar Tasawuf di Indonesia
SESUNGGUHNYA "Islam nontoleran" atau "Islam berwajah sangar" tidak memiliki akar sejarah yang kukuh di Indonesia. Justru sebaliknya, Islam sufistik atau Islam tasawuf yang lembut, yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal. Menurut Dr. Alwi Shihab, hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf.
Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya misionarisasi yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Islam masuk ke Indonesia
Kapan persisnya Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13 H.
Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7 H.
Menurut Dr. Alwi Shihab, asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan Dr. Alwi Shihab pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan da-lam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.
Dari laporan jurnalistik Cina itu pula kita mendapati informasi baru bahwa ternyata jalur penyebaran Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan dari Arab langsung.
Itu seperti dinyatakan kedua orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah pelopor pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir Alawi.
Tasawuf sunni versus tasawuf falsafi
Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at.
Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri.
Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam.
Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni.
Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.
Menurut Dr. Alwi Shihab, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.
Adalah benar, kata Dr. Alwi Shihab, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan.
Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.
Bahkan, Dr. Alwi Shihab menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi. Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf.
Maka bagi Dr. Alwi Shihab adalah aneh bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar.
Belum lagi doktrin-doktrin wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.
Oleh karena itu, sungguh tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.
Penjabaran cukup lengkap dalam buku karya Dr. Alwi Shihab ini bagus dan tajam untuk menjawab berbagai pertanyaan sekaligus merevisi berbagai penyimpangan manuskrip sejarah tentang masuknya Islam pertama di Nusantara. Selain itu sungguh buku ini merupakan rekaman sejarah "obyektif" yang belum ada duanya tentang perseteruan tasawuf berorientasi fiqih (tasawuf sunni) dengan tasawuf rasional (falsafi) yang selama ini masih kabur.
Wallahualam bissawab
Dikutip dari tulisan Dr. Alwi dan berbagai sumber lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar