KHUTBAH PERTAMA
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Rasanya tidak habis-habisnya kita harus bersyukur kepada Allah, karena limpahan anugerah rahmat dan karunianya hingga pada hari yang mulia ini kita semua tetap bertahan di atas agama Islam dan ajaran Rasulullah Shallallahu a’alaihi wasallam.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Di antara wujud syukur yang harus kita tampakkan adalah menjaga ketakwaan dan meningkatkannya kepada kesempurnaan iman. Hal ini dengan mengamalkan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya. Namun mungkinkah kita mengenal perintah dan larangan Allah tanpa ilmu?
Oleh karena itu, dalam mimbar yang mulia ini, saya menyeru pribadi saya dan hadirin sekalian untuk bertakwa dan belajar banyak tentang perintah dan larangan Allah, agar dapat mewujudkan ketakwaan dan keimanan yang lebih sempurna.
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Pada suatu hari Muadz bin Jabal duduk di dekat Nabi saw di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Muadz bertanya: “Ya Rasul Allah, apa yang dimaksud dengan ayat: Pada hari ditiupkan sangkakala dan kalian datang dalam bergolong-golongan?” (QS. Al-Naba; 18) Beliau menjawab: “Hai Muadz, kamu telah bertanya tentang sesuatu yang sangat berat.” Beliau memandang jauh seraya berkata: “Umatku akan dibangkitkan menjadi sepuluh golongan. Tuhan memilahkan mereka dari kaum muslimin dan mengubah bentuk mereka. Sebagian mereka berbentuk monyet, sebagian lagi berbentuk babi, sebagian lagi berjalan terbalik dengan kaki di atas dan muka di bawah lalu diseret-seret, sebagian lagi buta merayap-merayap, sebagian lagi tuli-bisu tidak berpikir, sebagian lagi menjulurkan lidahnya yang mengeluarkan cairan yang menjijikkan semua orang, sebagian lagi mempunyai kaki dan tangan yang terpotong, sebagian lagi disalibkan pada tonggak-tonggak api, sebagian lagi punya bau yang lebih menyengat dari bangkai, sebagian lagi memakai jubah ketat yang mengoyak-koyakkan kulitnya.
“Adapun orang yang berbentuk monyet adalah para penyebar fitnah yang memecah belah masyarakat. Yang berbentuk babi adalah pemakan harta haram (seperti korupsi). Yang kepalanya terbailk adalah pemakan riba. Yang buta adalah penguasa yang zalim. Yang tuli dan bisu adalah orang yang takjub dengan amalnya sendiri. Yang menjulurkan lidahnya dengan sangat menjijikkan adalah para ulama atau hakim yang perbuatannya bertentangan dengan omongannya. Yang dipotong kaki dan tangannya adalah orang yang menyakiti tetangga. Yang disalibkan pada tiang api adalah para pembisik penguasa yang menjelekkan manusia yang lain. Yang baunya lebih menyengat dari bangkai adalah orang yang pekerjaannya hanya mengejar kesenangan jasmaniah dan tidak membayarkan hak Allah dalam hartanya. Yang dicekik oleh pakaiannya sendiri adalah orang yang sombong dan takabur.”
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Hadis di atas yang kita kutip dari Kitab Tafsîr Majma’ Al-Bayân 10; 423 mengisahkan wujud manusia pada hari kiamat nanti. Menurut Syaikh Al-Akbar Ibn Arabi, semua makhluk berasal dari Tuhan dan akan kembali lagi kepada Tuhan. Dari Tuhan datang buah apel, kambing, dan manusia. Ketika kembali lagi kepada Tuhan, apel kembali sebagai apel, kambing sebagai kambing, dan manusia… belum tentu sebagai manusia lagi. Anda datang dari Tuhan sebagai manusia, tetapi boleh jadi kembali kepada-Nya sebagai babi, monyet, harimau, anjing, atau manusia dalam berbagai penampilannya.
Apa yang menentukan bentuk manusia ketika ia kembali kepada Tuhan? Menurut hadis di atas, seperti yang diperkuat oleh banyak ayat Al-Quran, yang menentukan bentuk kita sekarang dan juga nanti adalah amal-amal kita. Siapa kita sebenarnya akan kita ketahui ketika kita menghembuskan nafas terakhir. Tuhan berfirman: Maka kami singkapkan tirai yang menutup matamu dan tiba-tiba matamu hari ini menjadi sangat tajam. (QS. Qaf; 22)
Pada pandangan orang-orang salih, bentuk sejati kita itu mungkin sekarang pun sudah tampak. Imam Ja’far memperlihatkan kepada Abul Bashir betapa banyaknya binatang berputar sekitar Ka’bah. Manusia sedikit sekali dan tampak sebagai kilatan cahaya.
Saya mendengar kisah seorang yang sempat melakukan khalwat empat puluh hari. Ia mengasingkan diri pada suatu tempat. Ia melakukan puasa syariat, tarikat, dan hakikat. Ia bukan saja mengurangi makan; tetapi bahkan tidak berbiacara dengan manusia sedikit pun. Ia juga tidak pernah keluar dari kamar ibadatnya, sehingga matanya juga tidak melihat apa pun yang diharamkan Tuhan. Hatinya disibukkan hanya dengan mengenang Asma Allah, sehingga seluruh daya khayalnya dipusatkan ke alam malakut. Ketika khalwatnya selesai, ia keluar rumah. Ia balik lagi dengan ketakutan. Banyak binatang berseliweran di jalan di depan rumahnya. Ia akhirnya bermohon kepada Allah agar matanya dikembalikan pada posisi mata manusia biasa.
Kata Al-Ghazali, kita punya dua macam mata; mata lahir (bashar) dan mata batin (bashirah). Dengan mata lahir, ketika melihat bentuk lahir kita, yang sebetulnya terlihat hanyalah penampakan dari bentuk kita sebenarnya, penampilan dari bentuk batiniah kita. Ia bukan jati diri kita. Ia hanyalah bayang-bayang dari diri kita. Dengan mata batin, kita dapat melihat jati diri kita. Dengan bashirah, kita melihat diri kita yang sebenarnya. Dengan menggunakan istilah Al-Ghazali, bashar hanya melihat khalq (fisik), sedangkan bashirah melihat khuluq (wujud ruhani). Dari kata khuluq dibentuk kata plural akhlaq. Inilah yang kemudian masuk ke dalam kamus bahasa Indonesia sebagai akhlak. Sekarang setelah akhlak ditambahkan kata karimah (mulia), padahal tidak semua akhlak itu mulia.
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Jadi akhlak adalah wujud ruhaniah kita. Dengan wujud itulah kita kembali kepada Tuhan. Dengan wujud itu juga kita akan dibangkitkan. Yang menentukan akhlak tentu saja adalah amal-amal kita. Dengan amal salih, kita memperindah wujud ruhaniah kita. Dengan amal-amal buruk kita memperjelek wujud ruhaniah kita. Bila Al-Ghazali menyebut wujud ruhaniah kita itu sebagai akhlaq, Al-Quran menyebut wujud ruhaniah kita itu sebagai hati. Wujud ruhaniah yang buruk disebut sebagai hati yang sakit atau bahkan hati yang mati. Simaklah ayat-ayat berikut ini: “Kemudian keraslah hati mereka sesudah itu, seperti bebatuan bahkan lebih keras lagi dari itu.” (QS. Al-Baqarah; 74); “Adapun orang yang dalam hatinya ada penyakit, lalu kotoran ditambahkan di atas kotoran mereka lagi dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. Al-Nisa; 155); “Tidakkah kamu perhatikan orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah menyesatkannya dengan pengetahuan dan menutup pendengarannya dan hatinya dan menjadikan penutup pada pandangannya. Siapa lagi yang memberikan petunjuk setelah Allah. Tidakkah kamu mengambil peringatan.” (QS. Al-Jatsiyyah; 23).
Simak jugalah hadis-hadis berikut ini: Ada empat hal yang mematikan hati -berbuat dosa setelah berbuat dosa, banyak berkencan dengan lawan jenis, berdebat dengan orang bodoh, kamu berkata dan ia berkata tetapi tidak kembali pada kebaikan, dan bergaul dengan mayat. Ditanyakan kepada beliau: “Ya Rasul Allah, apakah itu bergaul dengan mayat.” Ia bersabda: “Bergaul dengan orang kaya yang hidup mewah.” (Bihâr Al-Anwâr 73:137); Tidak akan tegak iman sebelum tegak hati. Dan tidak tegak hati sebelum tegak lidahnya. (Bihâr Al-Anwâr 71:78); Tidak ada yang lebih merusakkan hati selain kemaksiatan. Jika hati terus-menerus melakukan kesalahan, kesalahan itu akan menguasai hatinya dan terbaliklah hati itu, yang atas menjadi yang bawah. (Dirâsat Al-Akhlâq).
Secara singkat, wujud batiniah kita, akhlak kita, hati kita dibentuk oleh amal-amal yang kita lakukan. Manusia memliki potensi yang luar biasa untuk menjadi apa saja, sejak binatang yang paling rendah sampai kepada malaikat yang didekatkan kepada Allah. Tidak henti-hentinya jati diri kita ini berubah sesuai dengan perubahan amal-amal kita. Sambil mengutip kaum eksistensialis, kita terlempar ke dunia ini tanpa kita rencanakan. Tiba-tiba kita sudah berada di sini. Heidegger menyebutnya Dasein (sambil dipecah menjadi Da Sein, ada di sana). Setelah berada di sana, kita diberikan kebebasan untuk menentukan wujud kita (dengan pecahan baru, Das Sein). Dalam literatur tasawuf, mewujudkan jati diri kita dengan amal itu disebut sebagai tajassum ‘amal. Marilah kita bentuk diri kita dengan amal-amal salih.
Saya teringat doa seorang anggota jemaah Umrah saya di depan Ka’bah dengan air mata yang berlinang: Tuhan, kembalikan aku kepada-Mu sebagaimana Engkau dahulu menurunkan aku ke dunia. Jika dahulu aku turun sebagai manusia, kembalikanlah aku sebagai manusia lagi!.
Wujud kita ditentukan oleh amal-amal kita. Jika kita selalu mengecoh, menipu, atau memperdayakan orang wujud kita akan menjadi monyet. Jika kejaran kita hanyalan kenikmatan lahiriah -makan, minum, dan seks, maka wujud kita yang hakiki adalah babi. Jika kita bekerja sebagai pemimpin -perusahaan, negara, organisasi, atau apa saja; lalu kita terbiasa merampas hak bawahan kita, menindas mereka, dan memperkaya diri di atas keringat dan darah mereka, wujud kita yang sebenarnya adalah anjing atau binatang buas lainnya.
Boleh jadi kita tampak sebagai manusia secara lahiriah. Muka kita mungkin ganteng atau cantik, penampilan kita indah, tetapi tubuh kita hanyalah bungkus yang menutup diri kita yang sebenarnya. Kita dapat melihat wajah lahiriah kita dalam cermin. Kita hanya dapat melihat wujud kita yang hakiki pada hari-hari terakhir ketika nyawa kita sudah tersangkut di tenggorokan. Tuhan berfirman, “Maka kami singkapkan dari kamu tirai kamu, dan pandanganmu tiba-tiba menjadi sangat tajam.” (QS. Qaf; 22) Ketika tubuh sudah ditanggalkan, persis seperti ketika pakaian kita lepaskan, wujud kita yang asli muncul. Dan wujud itu dibentuk oleh amal-amal yang kita lakukan.
Para ulama menyebut perwujudan diri kita sebagai buah amal itu sebagai tajassum al-‘amal dalam maknanya yang pertama. Makna kedua dari tajassum al-‘amal dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi berikut ini:
Qais bin Ashim meminta nasihat Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Hai Qais, pastilah kamu punya kawan yang dikuburkan bersama kamu tapi dia hidup dan kamu dikuburkan bersamanya dan kau dalam keadaan mati. Jika ia mulia, ia akan memuliakan kamu. Jika ia keji, ia akan menyerahkan kamu. Ia tidak akan dihimpunkan kecuali bersamamu, tidak akan dibangkitkan kecuali bersamamu, dan kamu tidak akan ditanya kecuali tentang dia itu. Jadikanlah dia itu baik, sebab jika dia baik kamu akan merindukannya. Jika dia rusak, kamu akan ketakutan kepadanya. Ketahuilah dia itu perbuatanmu.” (Bihâr Al-Anwâr 71:64).
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Dalam kita (Mazhahiri, Jihâd Al-Nafs; 116), dikisahkan, pada suatu hari, ketika Nabi saw duduk di samping Aisyah, seorang Yahudi lewat. Ia mengejek Nabi dengan memplesetkan ucapan salam: “Sâm ‘alaikum; artinya, matilah kamu.” Nabi menjawab: “Wa ‘Alaikum. Juga bagimu.” Lewat lagi Yahudi yang kedua mengucapkan hal yang sama. Nabi juga memberikan jawaban yang sama. Kejadian ini berulang sampai tiga kali. Aisyah tidak tahan. Ia menghardik Yahudi itu: “Hai anak-anak monyet dan babi!” Aisyah tidak salah bila merujuk pada Al-Maidah ayat 60: Dia jadikan sebagian mereka monyet dan babi.
Air muka Nabi berubah: “Hai Aisyah, mengapa kau maki mereka?” Aisyah menjawab: “Mereka bersekongkol, ya Rasul Allah. Giliran seorang demi seorang lewat hanya untuk mengucapkan: Matilah kamu.” Rasulullah saw bersabda: “Bukankah aku sudah jawab mereka dengan ucapan: Juga bagimu. Tidakkah kamu ketahui bahwa ucapan kita dan amal kita itu akan berwujud menjadi makhluk? Makian yang kita ucapkan akan menjadi makhluk yang mengerikan dan dibangkitkan bersama manusia pada hari kiamat.”
Dalam hadis yang lain, amal itu bukan saja muncul pada hari akhirat tetapi juga ketika manusia masuk ke alam kubur: Apabila seorang hamba yang mukmin masuk ke dalam kubur, kuburan itu berkata, “Selamat datang. Demi Allah, sungguh aku dulu sangat mencintaimu ketika engkau berjalan di atas punggungku. Apatah lagi ketika engkau memasuki perutku. Sebentar lagi kamu akan menyaksikannya.” Lalu dibukakan kepadanya kuburan itu seluas pandangan mata. Dibukakan baginya pintu untuk melihat surga. Setelah itu keluarlah orang yang belum pernah matanya menyaksikan yang lebih indah dari dia. Ia berkata, “Hai hamba Allah, belum pernah aku melihat yang lebih indah dari kamu.” Orang itu menjawab, “Aku adalah pikiranmu yang indah yang engkau pernah miliki dan amalmu yang salih yang pernah engkau lakukan.” Lalu ruhnya diambil dan diletakkan di surga di tempat ia menyaksikan rumahnya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Tidurlah dengan tentram.” Tidak henti-hentinya hembusan surga mengenai tubuhnya yang ia rasakan kenikmatan keharumannya sampai dia dibangkitkan.
Bila seorang kafir masuk ke dalam kubur, kuburan itu berkata, “Tak ada selamat datang bagimu. Demi Allah, dahulu aku membencimu ketika kau berjalan di punggungku. Apatah lagi ketika kamu masuk ke dalam perutku. Sebentar lagi kamu akan menyaksikannya.” Lalu kuburan itu menghimpitnya dan menjadikannya pecah berderai. Kemudian dikembalikan lagi kepada keadaannya semula dan dibukakan baginya pintu ke arah neraka sehingga ia menyaksikan tempatnya di neraka. Kemudian keluarlah dari pintu itu seseorang yang paling jelek yang pernah ia lihat. Ia bertanya, “Hai hamba Allah, siapakah kamu? Aku tidak pernah melihat muka yang lebih buruk dari muka kamu.” Ia menjawab, “Aku adalah amal buruk yang kamu lakukan dan pikiranmu yang buruk.” Kemudian diambil ruhnya dan diletakkan di satu tempat ketika ia melihat tempatnya di neraka dan tidak henti-hentinya dihembuskan dari neraka hembusan yang menjilati tubuhnya, dan ia merasakan kepedihan dan panasnya sampai hari dibangkitkan. Allah memerintahkan 99 ular yang menghembus-hembus ruhnya. Sekiranya satu hembusan saja dihembuskan di atas punggung bumi, tidak ada satu tumbuhan pun yang hidup. (Furu’ Al-Kafi, 3:11).
Tentu saja sebagaimana amal buruk menjadi makhluk buruk dan menakutkan, maka amal-amal baik akan menjadi makhluk yang indah dan membahagiakan. Kita akan menyaksikan amal-amal kita dihadirkan di depan kita. Tuhan berfirman: “Apa saja yang sudah kamu lakukan buat dirimu berupa kebaikan akan kamu dapatkan di sisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa yang kamu lakukan.” (QS. Al-Baqarah; 110); “Dan mereka dapatkan apa yang mereka lakukan hadir di depan mereka.” (QS. Al-Kahf; 48); “Pada hari setiap orang mendapatkan kebaikan yang dilakukannya dihadirkan di hadapannya dan juga keburukan yang dilakukannya, yang ia inginkan sekiranya antara doa dan keburukan itu ada jarak yang jauh.” (QS. Ali Imran; 30); “Barangsiapa melakukan kebaikan walaupun sebesar zarah dia akan melihatnya. Barangsiapa melakukan keburukan walaupun sebesar zarah dia juga akan melihatnya.” (QS. Al-Zilzalah; 7-8)
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Hadis selanjutnya sangat menyentuh; Nanti pada hari kebangkitan seorang mukmin dibangkitkan. Di hadapan dia dibangkitkan juga seseorang. Setiap kali mukmin itu menyaksikan malapetaka hari akhirat, kawannya berkata, “Jangan cemas jangan berduka. Gembirakanlah dirimu dengan kebahagian dan kemuliaan yang telah Allah siapkan bagimu.” Dengan bimbingan orang itu si mukmin dihadapkan ke pengadilan Tuhan dan diperiksa dengan sangat enteng. Ia juga diantarkan orang itu ke surga. Berkatalah si mukmin kepadanya, “Semoga Allah manyayangimu. Alangkah baiknya engkau dibangkitkan bersamaku. Tidak henti-hentinya engkau menggembirakan dan menbahagiakanku. Siapakah kamu?” Orang baik itu menjawab:, “Akulah kebahagiaan yang pernah kamu masukkan pada hati mukmin saudaramu di dunia. Allah menciptakan kebahagiaan yang kaumasukkan itu menjadi diriku sekarang ini untuk membahagiakanmu.”
Perwujudan amal atau tajassum al-‘amal muncul dalam tiga bentuk. Pertama, amal-amal kita akan membentuk jati diri kita. Amal-amal buruk akan membentuk diri yang buruk. Mendendam, membunuh, menganiaya adalah perbuatan kebinatangan. Perbuatan kita itu akan mengubah jati diri kita dari manusia menjadi binatang. Pada hari akhir, kita akan dibangkitkan dalam bentuk jati diri kita. Betapa banyak di antara kita yang tampil sebagai manusia yang tampan, tetapi secara hakiki kita adalah binatang buas yang haus darah. Boleh jadi tubuh kita menebarkan harum parfum yang segar di alam lahir, tetapi menebarkan bau bangkai di alam batin. Boleh jadi juga badan kita tegap dan utuh menurut penglihatan lahir, tetapi kerangka yang buruk dan tercabik-cabik dalam penglihatan batin. Diri kita secara batiniah adalah perwujudan amal yang pertama.
Kedua, amal-amal kita akan diciptakan Tuhan dalam wujud makhluk yang menyertai kita; sejak alam kubur sampai dibangkitkan pada hari kiamat nanti. Amal salih akan menjadi makhluk yang indah dan harum. Kehadirannya saja sudah membuat kita bahagia. Amal buruk kita akan menjadi monster yang menakutkan dan berbau busuk. Kehadirannya saja sudah membuat kita ketakutan. Kita semua akan disambut di pintu kubur nanti dengan dua macam makhluk ini. Mereka akan berebutan mendampingi kita. Bila makhluk yang buruk yang lebih banyak, merekalah yang menyertai kita dan mengusir makhluk-makhluk indah dari dekat kita. Sebaliknya, bila makhluk yang baik yang lebih kuat, merekalah yang akan membela kita dalam mengusir makhluk-makhluk buruk dari sekitar kita. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya kebaikan akan mengusir keburukan.” (QS. Hud; 114) Amal baik menjadi makhluk indah yang memberikan kebahagiaan kepada kita; amal buruk menjadi makhluk menakutkan yang membuat kita menderita.
Ketiga, amal-amal yang kita lakukan akan berwujud dalam bentuk dampak atau akibat. Amal baik akan muncul dalam akibat-akibat yang baik, dan sebaliknya. Pertama-tama, dampak amal itu akan mengenai kita yang melakukannya. Amal adalah benih yang kita tanam. Apa yang kita tuai sangat bergantung dengan apa yang kita tanam. Anda akan menuai permusuhan jika yang anda tanam kebencian. Anda akan memanen cinta, jika yang anda semai kasih saying. Alam semesta ini bergerak dalam satu kesatuan wujud. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari makhluk Allah lainnya. Bersama-sama dengan makhluk-makhluk lainnya kita adalah anggota-anggota dari satu badan alam semesta. Maka jika kita melukai salah satu di antara mereka, kita melukai diri kita sendiri. Karena itu, Al-Quran menyebut perbuatan dosa sebagai menganiaya diri kita sendiri. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak mengasihi kami tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf; 23)
Lemparkan sampah dan polusi ke sekitar kita; dan alam akan membalas kita dengan penyakit dan bencana. Berikan penghormatan dan perhatian pada lingkungan; dan “mereka” akan membalas kita dengan udara segar dan buah-buahan. Lepaskan kemarahan anda, dan makhluk-makhluk di sekitar kita setiap saat akan menyerang kita. Gunakan kekuatan untuk menindas orang-orang di bawah kita. Pada suatu saat, mereka akan bangkit untuk menghancurkan kita. Orang bijak sepanjang sejarah memberikan pesan yang sama: Kekerasan akan melahirkan kekerasan lagi. Dendam akan melahirkan dendam lagi. Karena lingkaran keburukan hanya bisa diputuskan dengan kebajikan. Seperti kisah keris Mpu Gandring, pengkhianatan yang satu akan disusul dengan pengkhianatan lainnya.
Berulang-kali Al-Quran menegaskan perwujudan amal dalam bentuk akibat amal. “Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Tuhan membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum; 41) “Maka mereka ditimpa oleh akibat kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang mereka perolok-olokan itu.” (QS. Al-Nahl; 34).
Lebih dari itu, Al-Quran juga menjelaskan bahwa akibat amal itu bukan hanya akan menimpa pelakunya tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah. Mereka mungkin saja anak-anak kita, masyarakat kita, bangsa dan negara kita: “Dan Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman tentram dan rezekinya datang berlimpah dari segala penjuru. Lalu penduduk negeri itu kafir kepada anugrah Allah. Maka Allah membuat mereka merasakan pakaian kelaparan dan kehausan karena apa-apa yang sudah mereka lakukan.” (QS. Al-Nahl ; 112); “Dan jika Kami bermaksud untuk menghancurkan suatu negeri, kami perintahkan orang-orang yang hidup mewahnya (supaya bertakwa). Kemudian mereka berbuat dosa di dalamnya. Maka sudah pastilah firman Kami dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya (QS. Al-Isra; 16).
Orang yang berbuat jahat dalam suatu negeri itu mungkin hanya sebagian kecil saja. Tetapi kehancuran diderita oleh seluruh bangsa. Penderitaan kita sekarang adalah perwujudan dari amal buruk sebagian dari bangsa kita. Beberapa orang di antara kita mengambil kekayaan negara, dan jutaan orang harus membayar utang. Segelintir kecil merusak hutan, tetapi semua makhluk menderita. Ada ibu yang minum obat penenang thalidomide, lalu anak-anaknya menderita cacat tubuh yang mengenaskan.
Al-Quran menuturkan kisah dua orang Nabi yang membangun dinding yang sudah roboh. Adapun dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu. Dan di bawahnya ada perbendaharaan milik keduanya. Dan kedua orangtuanya adalah orang tua yang salih. . Maka Tuhan kamu bermaksud untuk mengantarkan keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan perbendaharaan itu bagi keduanya sebagai kasih saying Tuhanmu. (QS. Al-Kahf; 82). Menurut hadis, “Sesungguhnya Allah memelihara anak mukmin sampai seribu tahun. Kedua anak yatim itu mempunyai jarak waktu dengan kedua orangtuanya itu tujuh ratus tahun.” (Bihâr Al-Anwâr 71:236).
Di dalam riwayat lain dikisahkan tentang kemarau panjang pada zaman Bani Israil. Seorang perempuan bermaksud untuk memasukkan sesuap makanan ke mulutnya, ketika ia melihat seseorang berteriak: “Saya lapar, wahai hamba Allah.” Perempuan itu segera menyerahkan roti yang akan dimakannya kepadanya. Ia mengeluarkan roti itu dari mulutnya. Pada tempat lain, anak perempuan itu sedang mencari kayu bakar di padang pasir. Seekor serigala menerkamnya dan membawanya pergi. Ibunya berusaha mengikuti jejaknya. Allah swt mengutus Jibril untuk mengeluarkan anak itu dari mulut serigala dalam keadaan selamat. Jibril berkata kepadanya: “Wahai hamba Allah. Bahagiakah kamu ketika satu suapan yang engkau berikan dibalas dengan satu suapan lagi. Luqmah billuqmah.” (Bihâr Al-Anwâr 73:96).
Jadi, jagalah anak-anakmu dengan amal salihmu. Jangan celakan mereka dengan perbuatan burukmu. Sampai di sini, mungkin ada yang merenung apakah yang kita perbincangkan hari ini bertentangan dengan prinsip keadilan ilahi. Seseorang berbuat salah, tetapi orang lain menanggung akibatnya. Bukankah Tuhan berkata, “Tidaklah seseorang akan menanggung dosa yang lain.” Jawaban kita singkat saja. Yang tidak akan ditanggung adalah dosa. Dampak atau akibat akan mengenai bukan hanya yang berbuat dosa. Tuhan berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.” (QS. Al-Anfal; 25). Seperti seorang bapak yang membakar rumahnya. Di rumah itu ada anaknya yang sedang tidur pulas, Anak itu mati terbakar. Bapak yang membakar tentu saja masih hidup. Anak itu dikenai dampak dosa bapaknya, tetapi ia tidak menanggung dosa apa pun. Ia bahkan mendapat pahala mati syahid, karena menjadi korban kekejaman bapaknya. Si bapak menanggung doa berlipat ganda sesuai dengan jumlah korban yang menderita karena dampak dosanya.
Penderitaan mereka semua adalah perwujudan amal dari si bapak itu. Itulah tajassum ‘amal dalam makna yang ketiga.
KHUTBAH KEDUA
Maasyiral Muslimin, jama`ah shalat jum`at, yang sama-sama mengharap ridha Allah
Dalam Khutbah kedua ini sekali lagi Khatib mengingatkan pada diri sendiri, bahwa Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat kepada Nabi Muhammad a, dan Dia perintahkan kepada kita agar bershalawat dan memohonkan salam untuknya, seraya berfirman,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan sampaikanlah salam atasnya." (Al-Ahzab: 56).
Maka sering-seringlah memohonkan shalawat dan salam kepada Allah untuk Nabi kita, Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya, serta segenap umatnya yang setia kepada ajaran dan sunnahnya.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ تَسْلِيمًا كَثِيرًا وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالمَِينَ.
Dikutip tanpa izin dari : tulisan KH. Jalaluddin Rakhmat dalam Al-Tanwir No. 180 - Edisi: 28 Januari 2001/ 3 Dzulkaidah 1421 H
terima kasih, yqng menyediakan blog ini, semoga mendapat pahala
BalasHapusJazakumullah Khoiron Katsiro...
BalasHapus